Ibadah Puasa dan ‘’Marshmallow’’ Daniel Goleman

TendyNews.com - Bagi seorang muslim tentunya istilah puasa atau shaum bukan lah hal yang asing mengingat dalam perjalanannya umat muslim selalu menjalankan puasa satu bulan penuh atau puasa wajib di bulan Ramadhan. Dalam islam sendiri, ada banyak puasa yang dianjurkan selain puasa wajib di bulan Ramadhan diantaranya puasa senin kamis dan puasa pada pertengahan bulan hijriah. Lalu sebenarnya apa makna yang bisa diambil dari perintah Allah tersebut?

Dalam Islam, puasa dapat dipahami sebagai upaya menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Diantara yang membatalkan puasa adalah makan dan minum dengan sengaja, muntah dengan sengaja, menstruasi bagi perempuan, dan lainya. Puasa di identikan dengan usaha untuk menahan dari berbagai hal yang secara kasat mata begitu menggiurkan seperti makanan, minuman, dan beberapa hasrat duniawi lainnya. Puasa adalah pilar dimana manusia belajar untuk dapat mengendalikan diri.

Daniel Goleman seorang ahli dan peneliti tentang kecerdasan emosi pernah menguraikan bukti ilmiah tentang manfaat pengendalian diri. Daniel Goleman melakukan penelitian longitudinal tentang pentingnya mengendalikan diri sebagai salah satu kunci keberhasilan di masa depan. Dalam penelitiannya, Ia mengumpulkan anak-anak berusia empat tahun di taman kanak-kanak Standford dan menyuruh mereka untuk memasuki sebuah ruangan. Satu per satu dari anak-anak tersebut memasuki ruangan yang telah disediakan dan selanjutnya sepotong marshallow (manisan) telah disiapkan Goleman untuk menarik perhatian dan minat mereka.
The Marshmallow Test

Goleman mengatakan kepada setiap anak yang masuk ke dalam ruangan bahwa,’’kalian boleh memakan marshmallow ini jika menginginkannya, tetapi jika kalian memakannya sekembalinya saya kesini, kalian berhak mendapatkannya sepotong lagi.’’

Sekitar empat belas tahun kemudian, sewaktu anak-anak itu lulus sekolah lanjutan tingkat atas (SMA), anak-anak yang dahulu langsung memakan manisan dibandingkan dengan anak-anak yang mampu menahan diri untuk mendapatkan dua potong manisan menunjukan perkembangan sebagai berikut:

- Mereka yang langsung memakan manisan dibandingkan mereka yang tahan menunggu cenderung tidak tahan menghadapi stress, mudah tersingung, mudah berkelahi, dan kurang tahan uji dalam mengejar cita-cita mereka.

Lain halnya dengan anak-anak yang mampu menahan diri, terdapat suatu hasil yang mengejutkan dimana mereka memperoleh nilai yang tiggi dalam ujian masuk ke perguruan tinggi. Ketika anak-anak dalam penelitian tersebut menginjak usia 20 tahunan, ditemukan bahwa mereka tergolong orang yang sangat cerdas, berminat tinggi, dan lebih mampu berkonsentrasi. Mereka lebih mampu mengembangkan hubungan yang tulus dan akrab dengan orang lain, lebih handal dan bertanggungjawab, dan pengendalian dirinya lebih baik ketika menghadapi frustasi.

Lalu apa yang terjadi pada anak-anak yang tidak dapat menahan diri untuk langsung memakan marshmallow?

Anak-anak yang langsung memakan marshmallow diketahui bahwa di akhir usia 30 tahunnya memiliki kemampuan kognitif dan kecakapan emosi yang rendah dibandingkan anak-anak yang tahan uji. Mereka lebih sering kesepian, lebih mudah kehilangan konsentrasi, dan tidak sabar menunda kepuasaan dalam mengejar sasaran. Bila menghadapi stress mereka hampir tidak memiliki toleransi dan pengendalian diri serta tidak luwes dalam menghadapi tekanan.

Kisah anak-anak dan marshmallow (manisan) mengandung makna tentang pentingnya pengendalian diri. Bayangkan apa yang terjadi ketika manusia kehilangan kemampuannya dalam mengendalikan diri, mungkin saja mereka hanya bertindak berdasar pra sangka dan emosionalitas. Untuk itu, tidak jarang orang beropini bahwa mereka yang mengutamakan hawa nafsu – akalnya tidak dapat digunakan. Faktanya, kita bisa melihat bagaimana orang yang dikenal berilmu dan diberi kepercayaan oleh banyak orang menjatuhkan dirinya pada tindakan amoral yang siapapun tahu bahwa itu adalah hal yang tidak benar. Orang yang tidak mampu mengendalikan dirinya akan kehilangan kemampuan untuk dapat melihat dan membedakan hal yang baik dan buruk serta hal yang benar dan salah.

Menimbang begitu pentingnya pengendalian diri, Allah memfasilitasi manusia dengan berpuasa. Puasa, bukan hanya tentang mengendalikan diri pada hal-hal yeng bersifat materi melainkan hal-hal yang lebih esensial daripada itu. Puasa berbicara tentang bagaimana nurani tidak terbelenggu oleh materi, bagaimana nurani terbebas dari sifat bergantung pada mahluk yang dengannya manusia terlepas dari iri, ria dan dengki. Puasa mengajarkan manusia untuk menahan diri, bukan hanya kaitannya dengan ‘’marshmallow’’ tapi secara lebih hakiki untuk mengajarkan seseorang menjadi sebenar-benarnya manusia. Puasa adalah salah satu kunci agar manusia menjadi damai dengan dirinya sendiri, dengan sesama dan dengan Tuhan.
close