Globalisasi, Buruh dan Kantong Orang-orang Serakah (diambil dari Film Pendek Sejarah Globalisasi John Pilger)
Tentunya globalisasi bukan lah hal asing di telinga kita saat ini, bahkan keberadaannya telah merambah pada bidang informasi, budaya, teknologi dan lainnya. Orang memahami bahwa globalisasi adalah proses sosial alami yang keberadaannya tidak bisa di hindari, tapi siapa sangka bagi sebagian yang lain globalisasi adalah suatu hal yang dirancang dan diciptakan sehingga lebih dari satu juta orang dibelahan bumi lain menyuarakan protes untuk menentang tata ekonomi baru tersebut.
,’’Kata penganutnya hanya globalisasi lah yang mampu menyatukan manusia dari segala ras di seluruh negara dan menurut mereka ia dapat mengurangi kemiskinan dan dapat menciptakan kekayaan secara merata. Apa yang terjadi sesungguhnya di depan mata kita adalah justru yang terjadi sebaliknya yang miskin semakin miskin sementara yang kaya menjadi luar biasa kaya,’’demikianlah yang dikatakan George Monbiot seorang Environmentalis
Globalisasi menciptakan jurang yang amat dalam antara si kaya dan miskin, bagaimana tidak dengan 200 perusahaan seperempat kegiatan perekonomian dunia telah terkuasai – hari ini general motor lebih besar dari Denmark, dan Ford lebih besar dari Afrika Selatan. Merk-merk terkenal dari sepatu sampai pakaian bayi seperti Nike, Gap, Adidas, Old Navy dan lainnya adalah barang yang hampir seluruhnya dibuat di negara-negara yang sangat miskin dengan upah buruh yang rendah – nyaris seperti budak,’’jelas Pilger
Pilger melanjutkan bahwa,’’untuk mempromosikan sepatu Nike, pegolf Tiger Woods dibayar lebih tinggi dari upah seluruh buruh yang membuat produk Nike di indonesia. Di Jakarta sendiri mungkin tidak pernah lepas dari pemandangan yang sarat dengan ironi bahwa sebagian orang melangsungkan acara pernikahan yang begitu mewah dengan harga yang tidak bisa dibayar dengan hasil pekerjaan pegawai kebersihan bahkan jika mereka menabung selama 400 tahun – Namun di lain pihak kita menemukan bagaimana kehidupan masyarakat kecil sarat dengan kemiskinan, kebanyakan dari mereka adalah buruh-buruh yang memproduksi barang-barang dengan merk terkenal yang mungkin sering kita temui di pusat perbelanjaan.
Kira-kira bagaimana kehidupan para buruh yang membuat barang-barang yang mungkin hari ini sedang kita pakai,? Atau mungkin kita tidak pernah memikirkan hal sejauh itu ?
Ketika film pendek John Pilger di buat, rata-rata buruh di bayar 9000 per/hari. Angka tersebut adalah upah minimum yang menurut pemerintah setengah lebih tinggi dari standar hidup. Jika dianalogikan, buruh hanya menerima 500 perak dari satu barang yang di hargai 112 ribu atau dari harga sepatu yang bernilai 1,4 juta di pasaran hanya 5000 rupiah yang dialokasikan untuk gaji buruh.
Buruh-buruh di Jakarta kebanyakan tinggal di rumah-rumah (jika bisa dikatakan sebagai rumah) yang menurut Pilger di buat dari kotak-kotak barang yang jika hujan turun mereka akan tertimpa banjir. Terdapat pancuran tapi tidak tersedia air bersih, mereka kekurangan gizi dan terjangkit penyakit,’’jelas pilger
Keadaan tersebut menurut Pilger adalah keadaan yang tidak jauh berbeda dengan pekerja di belahan bumi lain seperti Asia, Afrika, dan Amerika Latin dimana merek-merek terkenal di produksi dengan murah demi keuntungan pasar-pasar di barat.
Siapa yang tahu, merk-merk terkenal seperti Nike, Adidas, Gap dan Reebok, di buat oleh buruh di pabrik yang penuh sesak di bawah lampu neon bersuhu 40 C. Siapa yang peduli apakah mereka duduk atau berdiri ber jam-jam tanpa berhenti ketika bekerja. Atau siapa yang memikirkan seberapa banyak jam kerja yang mereka miliki, apakah 24 jam dengan 2 kali istirahat atau 60 jam per minggu. Tapi sebenarnya yang paling memilukan adalah ketika seolah-seolah mereka tidak memiliki pilihan lain untuk berkata tidak dan kerja keras mereka dimanfaatkan untuk memenuhi kantong-kantong orang-orang serakah.
Di indonesia kode etik yang dapat digunakan untuk melindungi buruh jarang sekali diterapkan, buruh-buruh yang melawan mungkin akan menghadapi ancaman kontraktor asing dan penyerangan dari mereka yang anti serikat buruh. Kode etik buruh yang tidak diterapkan, organisasi buruh yang lemah, polisi yang menghambat kerja organisasi buruh, dan serikat buruh yang di tindas adalah bentuk problema yang seolah-olah memberikan pesan bahwa kondisi buruh indonesia sedemikian tertindasnya. Tingkat kemiskinan dan pengangguran yang tinggi serta tingkat pendidikan yang rendah menjadi rantai masalah yang membuat buruh seolah-olah tidak memiliki pilihan lain.
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk menyikapi hal tersebut?
Barry Coates berkata bahwa hal yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki kondisi masyarakat dunia ketiga adalah pada saat kita berbelanja tanyalah tokonya: di buat dimanakah produk itu? Kondisi kerjanya bagaimana? Tulislah ke perusahaan dan katakan jika anda ingin kepastian bahwa produk itu berasal dari pabrik yang memperlakukan buruhnya dengan adil dan mendukung hak buruh membentuk organisasi. Inilah cara yang paling sederhana yaitu bersikap sebagai konsumen yang terinformasi.’’
Pabrik-pabrik, bank besar, dan hotel-hotel mewah yang sekarang berdiri kokoh di Kota besar terutama Jakarta, yang menurut sebagian besar orang adalah keberhasilan ekonomi merupakan salah satu ciri fisik globalisasi. Bangunan fisik tersebut menandakan bagaimana pengusaha asing di beri kesempatan untuk membangun perusahaannya dengan memanfaatkan buruh murah di indonesia. Akar sejarah globalisasi di indonesia berawal dari prestasi Soeharto yang mampu menyingkirkan pendiri bangsa-pemimpin nasionalis Soekarno yang yakin pada kemandirian ekonomi rakyatnya (Soekarno menetang korporasi barat di Indonesia dan mengusir agen-agen barat seperti bank dunia dan IMF ). Pada akhirnya ketika Soeharto telah mencapai puncak kekuasaannya dengan menjadi presiden Indonesia diketahui bahwa Ia di sokong oleh Amerika dan Inggris. Sehingga yang terjadi adalah perekonomian Indonesia di bentuk sesuai dengan pihak barat mulai dari masuknya kendali IMF dan bank dunia ke negeri ini sampai pada akhirnya korporasi asing masuk ke indonesia dan memperkerjakan buruh-buruh yang dibayar murah.
Demikianlah sekelumit sejarah yang bahkan sampai saat ini terlampau gelap untuk diketahui. Hingga pada akhirnya sejarah berbicara bahwa dunia yang kita tempati saat ini adalah tempat yang tidak memihak orang-orang lemah dan tidak berdaya. Orang pintar di negeri ini atau bahkan di dunia saat ini, sebagian besar menggunakan kepintarannya untuk membodohi orang lain dan memenuhi keserakahan mereka. Orang yang korupsi di negeri ini bukankah mereka orang yang cukup pintar dan berpendidikan tinggi?
Maka menjadi sebuah refleksi tentang akan di bawa kemana proses pendidikan kita hari ini,’’apakah hanya tentang menghasilkan manusia berintelektual tinggi tanpa iman ataukah masih berkutat pada menghasilkan manusia robot untuk memenuhi bursa kerja?
Mungkin akan menjadi sangat menarik dan mendamaikan ketika kita mengingat apa yang dikatakan Imam Al-Ghazali yang pada intinya adalah ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mendekatkan diri kepada Allah atau mungkin seperti yang dikatakan Ustadz di sebuah pesantren yang mengatakan bahwa carilah ilmu untuk mengisi ruang-ruang kemulian di masa depan.
Dan ketika manusia mendasarkan pencarian ilmunya untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukankah itu adalah tingkatan moral yang paling tinggi ketika ia tidak terbelenggu lagi pada hal-hal yang bersifat materi melainkan telah berorientasi pada hal-hal yang bersifat hakiki?
Menjadi penting bagi kita saat ini yang dianugerahi pendengaran, penglihatan dan hati nurani untuk mensyukurinya dengan belajar sebaik dan seikhlas mungkin agar mampu mengisi ruang-ruang kemuliaan di masa depan (Semoga - Aamiin).